Hati
Ikhlas Pak Haji Zein
Dini hari itu, saat aku sedang
mengambil wudhu untuk salat subuh, nada sambung handphone berbunyi. Siapa
ya yang menelpon ku jam segini? Tanya ku saat itu ketika mengambil wudhu.
Ketika akan ku jawab telepon yang
masuk, nada sambung sudah berhenti. Sewaktu aku lihat layar handphone, ternyata
itu telepon dari bapak. Ada apa ya bapak
menelpon jam segini? Ada sedikit perasaan cemas yang muncul.
Baru saja aku akan telpon balik ke
nomor bapak, ada SMS yang masuk. Ternyata dari bapak. Isi pesannya begitu singkat:
Basir,
Pak Haji Zein meninggal malam tadi.
Pak Haji Zein, guru mengaji ku
sewaktu kecil telah wafat.
… … … …
Aku
teringat saat-saat itu
Antrian anak-anak yang akan mengaji
sudah memanjang, ternyata aku sedikit terlambat. Ini gara-gara ibu memaksa ku
untuk makan dulu setelah salat maghrib tadi. Padahal kan makan nanti saja habis
mengaji bisa. Huff.
Segera aku duduk di antrian paling
belakang, sambil membawa Al Qur’an ku. Hari ini pak Haji mengajar ngaji
sendiri, mungkin anak-anaknya belum pulang sekolah. Kalau satu orang mengaji
perlu waktu 10 menit, dengan sebanyak ini anak yang mengantri, ah, bakal pulang
jam berapa aku malam ini. Padahal aku sudah tidak sabar untuk main CD game Play
Station yang baru aku beli.
Sudah sebulan aku masuk tahap ketiga
metode pengajian pak Haji. Sekarang aku sudah boleh membaca kitab Al-Qur’an
setelah menyelesaikan bacaan Juz Amma dan buku Iqro. Aku sudah tidak sabar
untuk segera bisa khatam Al-Qur’an biar nanti memasuki bulan ramadhan saat
penutupan pengajian menjadi salah satu penerima hadiah dari pak haji, di depan
bapak ibu. Ah, pasti membanggakan sekali.
Sekarang bulan Januari, puasa
ramadhan tahun ini ada di bulan Desember, berarti aku punya waktu 10 bulan.
Sempat tidak ya? Ah, menyesal aku kemarin-kemarin sering bolos mengaji.
… … …
Itu adalah sepenggal ingatan masa
kecil ku, saat aku mengaji kepada Pak Haji Zein, guru ngaji yang rumahnya
bersebalahan dengan rumah keluarga ku.
Aku mengaji setiap hari sehabis salat magrib berjamaah di masjid,
kecuali malam jumat saat pengajian diliburkan atau saat Pak Haji Zein sedang
sakit. Hujan pun jarang menjadi penghalang, karena rumah beliau hanya berjarak
5 meter dari rumah keluarga ku.
Satu-satunya penghalang niat ku saat
itu cuma satu, game Play Station
(PS). Saat itu PS sedang begitu digemari anak seusia ku. Saking gemarnya, bermain PS bisa menjadi
alasan untuk kami mangkir sekolah, salat di masjid, hingga mengaji. Sampai akhirnya, pada suatu kesepakatan
(dengan ancaman bahwa PS ku akan di jual ke tukang loak oleh bapak), aku
sepakat untuk selalu mengerjakan tugas, salat 5 waktu dan pergi mengaji asal
tetap diizinkan main PS.
Begitulah, sejak ada kesepakatan aku
dengan orang tua, aku jadi rutin mengaji, walau sering juga jadi buru-buru
karena ingin segera pulang main PS.
Tapi, mungkin setelah tahu kebiasaan ku buru-buru ini, atau mungkin
karena laporan bapak ibu, pak Haji malah sengaja memperbanyak ayat yang aku
harus baca. Padahal biasanya, tiap anak yang mengaji itu paling 2-3 tanda ع ( ain* ),
itu 10-25 ayat. Tapi giliran ku, itu bisa jadi 5 ain, berarti sekitar 50 ayat. Itu bisa memakan
waktu setengah jam dengan kemampuan membaca Al-Qur’an ku saat itu. Awalnya berat dan mengesalkan sekali, namun
ternyata lama kelamaan aku malah jadi terbiasa.
Metode ngajar pak Haji sederhana
sekali. Kami memulainya dengan membaca buku Iqro, dasar-dasar huruf arab (huruf
hijaiyah) dengan tingkatan 1-6 yang terus meningkat kesulitannya. Bisa dibilang
Iqro adalah materi dasar sebelum kami bisa membaca ayat dalam surat-surat di
Al-Qur’an.
Sehabis menamatkan tingkatan 6 pada
buku Iqro, kami mulai membaca Juz Amma. Juz Amma itu adalah kumpulan
surat-surat pendek yang ada di Al-Qur’an, semacam An-Naas, Al Ghasiyah dan
seterusnya. Disini kami mulai melafalkan huruf-huruf hijaiyah yang kami baca
pada setiap ayat. Di tingkatan ini pula Pak Haji Zein, atau anak beliau yang
menggantikan, dengan tegas mulai menuntun kami untuk membaca dan melantunkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Ini ayat-ayat Al-Qur’an yang kamu baca ada artinya
masing-masing ! kalau kamu membacanya sembarangan begitu, artinya akan beda !
Itu salah satu kalimat yang aku
ingat dilantangkan beliau ketika aku kurang tepat membaca ayat Al-Qur’an. Waktu itu, aku merasa pak Haji terlalu galak untuk
anak seusia ku. Pernah suatu kali aku pulang dalam keadaan menangis kerumah
sehabis dimarahi pak Haji.
Salah satu bagian menyenangkan dari
mengaji di tempat Pak Haji Zein, adalah aku bisa bertemu teman-teman ku di
sekolah, di kampung, atau kenalan baru di pengajian. Disitu kami bisa ribut
tentang banyak hal, mulai dari game
PS yang sedang kami mainkan, hingga jajanan (snack) tertentu yang saat itu begitu digemari
anak-anak. Saat itu aku inget sekali, ada snack yang hadiahnya adalah potongan
puzzle, nah kalo potongan itu lengkap, kita bisa mengirimkannya dan mendapatkan
hadiah mainan. Saat itu kita sering jadi ribut di pengajian karena bertukar
puzzle sambil menunggu giliran mengaji. Pak Haji Zein pernah marah dan mengusir
kami semua anak laki-laki yang ribut di
pengajian waktu bertukar puzzle itu. Para anak perempuan senang sekali kami
dimarahi, mereka tertawa cekikikkan.
Hal lain yang seru adalah Pak Haji
Zein punya pohon kesemek yang tumbuh di pekarangan rumah nya. Kesemek adalah
buah berukuran kecil dan berwarna hijau berasa asam. Kalau lagi musim berbuah, sejak sore kami
sudah datang ke pengajian untuk memetik atau memunguti buah kesemek. Ribut dan berantakan sekali, dan Pak Haji
Zein tentu pada akhirnya marah,
Di sepanjang jadwal pengajian, yang
berlangsung hampir setahun penuh, juga akam ada banyak kegiatan. Misalnya lomba
membaca Al-Qur’an, lomba mewarnai, lomba azan, hingga lomba pidato. Hadiahnya
sih memang sederhana, hanya snack dan berbagai keperluan sekolah. Tapi momen di saat kami tampil di depan
banyak orang, termasuk orang tua kami itu, selalu menjadi momen yang
berkesan. Kami bisa saja memukau di atas
panggung, atau malah hanya terpaku diam, paling parah ada yang menangis karena
malu, tapi apapun yang kami lakukan di atas panggung, Pak Haji Zein senantiasa
menyemangati kami untuk tampil sebaik mungkin.
Di satu kesempatan aku pernah menjadi juara 3 lomba membaca Al-Qur’an,
saat itu hingga berminggu-minggu kemudian aku bangga sekali menceritakannya
lagi dan lagi ke orang tua dan teman-teman.
Menjelang
bulan ramadhan, biasanya akan diadakan penutupan pengajian. Pengajian Pak Haji Zein justru ditutup saat
bulan ramadhan. Sewaktu penutupan pengajian diadakan, kami senang sekali, entah
karena akan ada berbagai pertunjukkan, atau karena bisa libur sejenak dari
omelan Pak Haji Zein. Bulan puasa pula. Acara
penutupan berisi berbagai pertunjukkan seni yang dilakukan anak-anak
pengajian. Aku ingat dalam satu kali
kesempatan ikut satu tarian dalam kelompok marawis, tarian Magadir namanya. Tarian itu seru sekali. Apakah kau juga tahu tarian Magadir itu?
Aku mengaji di Pak Haji Zein hingga
kelas 2 SMP, setelah itu entah mengapa dengan sendirinya intensitas mengaji ku
berkurang hingga menjadi tidak sama sekali.
Mungkin karena jadwal dan tugas-tugas sekolah ku yang makin banyak, atau
karena mainan ku makin banyak. Orang tua bukannya tidak menghimbau, tapi
lama-kelamaan mereka bosan dengan kemalasan ku. Yah, aku memang tetap mengaji,
sesekali, walau tidak di Pak Haji Zein. Hasilnya tentu berbeda, karena di pak
Haji kami juga diajari membaca dengan baik dan dengan arahan yang jelas.
… … …
Setelah masuk SMA, aku malah sudah
tidak mengaji di Pak Haji Zein sama sekali. Jam pulang sekolah ku saat itu sore
sekali, waktu ku juga habis di perjalanan pulang yang begitu macet. Hingga ketika sampai rumah yang tersisa hanya
perasaan lelah dan keinginan untuk langsung tidur yang begitu kuat. Nampaknya bukan aku saja yang menjadi enggan begini,
karena sesekali sewaktu melewati rumah Pak Haji Zein saat pulang sekolah, aku
lihat jumlah anak-anak yang mengaji semakin sedikit saja.
Sering kali saat aku sudah dewasa
aku berpikir, apa motivasi Pak Haji Zein untuk mengajar ngaji anak-anak kampung
ini ?. Setahuku beliau sama sekali tidak dibayar. Seingat ku tidak pernah sekalipun kami
dimintai bayaran entah itu bulanan atau tahunan untuk kegiatan mengaji. Memang secara ekonomi Pak Haji Zein terhitung
orang yang berkecukupan hasil dari kontrakan yang beliau miliki. Anak-anak Pak Haji Zein pun semuanya mampu
menempuh pendidikan tinggi. Apakah kemudian Pak Haji Zein tidak lagi membutuhkan
uang dari warga kampung untuk mengajari anak-anak mengaji ?.
Uang hanya orang tua anak pengajian keluarkan
saat menjelang acara penutupan atau lomba.
Uang itu bisa dibilang kembali
lagi kepada kami anak-anak pengajian melalui berbagai macam hadiah. Dari segi waktu, untuk mengajar ngaji, Pak
Haji Zein meluangkan waktu cukup banyak. Saat aku dulu mengaji, setidaknya
dalam satu hari jumlah anak yang mengaji bisa mencapai seratusan. Anak-anak itu
tidak hanya datang dari kampung ku, tapi juga dari kampung-kampung sebelah. Pak
Haji Zein tidak pernah melarang mereka ikut mengaji, semuanya boleh datang.
Semuanya boleh belajar. Dalam berbagai
kesempatan tidak hanya anak-anak yang datang mengaji kepada beliau namun juga
orang dewasa. Semuanya dilayani oleh pak Haji dengan telaten.
Kalau memang benar ilmu yang
diamalkan adalah bagian dari amal yang tidak pernah putus pahalanya, pahala Pak
Haji Zein pasti sudah sedemikian banyak. Entah sudah berapa generasi yang
diajarkan mengaji oleh beliau, karena kata bapak ku, bahkan kakak sulung ku
yang berjarak 15 tahun dari ku saja sudah diajari ngaji oleh Pak Haji Zein. Itu kah yang membuat Pak Haji Zein tampak
begitu bahagia dengan kehidupannya ? karena ilmu-ilmu yang diamalkan itu ?.
Tidak hanya di pengajian, di masjid
kampung ku pun Pak Haji Zein aktif mengabdi pada masyarakat dan agama Islam. Setiap subuh, kecuali saat berhalangan sakit,
pasti beliau yang menjadi imam salat para jamaah. Saat dilaksanakan salat
jenazah, beliau pun sering didaulat menjadi imam. Bahkan untuk berkeliling shaf salat untuk memintakan
sedekah dari para jamaah. Aku ingat
sekali setiap momen itu, saat Pak Haji Zein bergerak dari satu shaf ke shaf
yang lain dengan membawa kain berwarna hijau tempat para jamaah memasukkan uang
sedekahnya.
Kabar wafatnya Pak Haji Zein memang
menyesakkan hati. Sekarang saat pak Hai
Zein sudah berpulang, siapa yang akan melakukan semua hal itu ? siapa yang bisa
menjadi sedemikian ikhlas seperti beliau ?.
Di masa sekarang, padahal kondisi
sosial masyarakat terutama anak-anaknya begitu memprihatinkan. Sudah umum melihat anak-anak kecil
bergerombol nongkrong di pinggir jalan melakukan hal yang tidak jelas manfaatnya;
merokok, pacaran, mengganggu ketertiban masyarakat. Biasa sekali kita melihat anak-anak kecil
kita pulang larut malam entah habis melakukan apa. Belum lagi anak-anak kita
yang terjebak dalam dunia fantasi di warnet-warnet. Kita menghimbau, kita marah, kita kesal, kita
memukul, tapi itu percuma. Karena batin mereka sudah terlanjur terisi hal-hal
merusak. Haus akan nilai spiritual dari mengaji dan salat berjamaah. Pikiran mereka kosong akan hal-hal yang
menyehatkan jiwa.
Siapa lagi yang akan mengajar
mengaji sekarang ? membersihkan pikiran dan jiwa anak-anak kecil kampung kami? meluangkan waktu mengajarkan kalam-kalam
Tuhan tanpa pamrih ?. Sungguh besar jasa
Pak Haji Zein memperbaiki jiwa entah berapa generasi warga kampung dari
kemudharatan, dari hal-hal negatif kemajuan zaman.
Banyak pasti yang bisa mengaji sama
atau lebih baik dari Pak Haji Zein, namun adakah yang mau mengajarnya secara
sukarela seikhlas beliau? Dan kadang aku
merasa tidak enak hat karena aku dan remaja seusia ku juga tidak mampu berbuat
banyak untuk masyarakat. Entah dengan
alasan kesibukan atau memang tidak mau. Padahal di kampus atau sekolah kami, kami
mengadang-ngadang tentang pengabdian masyarakat dan segala tetek bengek nya.
Sekarang, saat di kamar ku tidak
lagi terdengar alunan mengaji anak-anak dari pengajian Pak Haji Zein, aku
sering terbayang wajah Pak Haji Zein duduk di depan ku mengajarkan mengaji:
Iqra’
bismi rabbikallazi khalaq… ( Bacalah atas nama Tuhan mu yang menciptakan..
)
Terima kasih Pak Haji Zein… Semoga Pak
Haji ditempatkan di surga-Nya yang terbaik. Amin…
0 comments:
Post a Comment