Aku
adalah salah seorang dari sekian banyak mahasiswa yang hidup ngekos. Sudah empat tahun aku menjadi anak kos. Sudah selama itu pula aku belajar hidup
mandiri jauh dari orang tua. Sewaktu tinggal dengan orang tua, segala hal
menjadi begitu mudah. Sekarang sebagai
anak kos aku mengalami siklus seperti di lagu dangdut; makan-makan sendiri,
tidur-tidur sendiri, cuci baju pun sendiri, semua hal sendiri.
Memang
orang tua tetap menanggung biaya kuliah dan sewa kamar kos ku ini, namun biaya
hidup di kota ini cukup mahal sehingga seringkali uang kiriman orang tua ku
rasa tidak cukup. Awalnya aku hidup
menghemat sehemat-hematnya. Mengurangi
porsi makan, tidak berorganisasi karena itu memperbesar pengeluaran ku, hingga
menumpang makan di kosan teman disaat tak punya uang lagi. Aku berpikir, kok aku sebegini prihatin ya ? Sampai kemudian aku sadar bahwa
kunci dari keberlangsungan dan kesintasan ku sebagai anak kos tidak hanya
dengan hidup hemat dan bersahaja, namun juga dengan memperbesar pemasukan ku
tiap bulan. Jadilah kemudian sejak tahun
kedua aku bekerja sebagai pengajar di bimbingan belajar (bimbel) untuk
mendapatkan penghasilan tambahan.
Sejak
mempunyai penghasilan dari honor bulanan pengajar bimbel, aku pun bisa memenuhi
kebutuhan dan keinginan ku sendiri.
Membeli buku, nonton dan makan dengan pacar, membeli pakaian, dan
memenuhi kebutuhan logistik., hal-hal yang selama ini tidak ingin aku minta
biayanya dari orang tua. Uang orang tua aku gunakan untuk membiayai sewa kosan
saja. Selain itu aku juga mulai bisa menabung.
Lumayan lah walau tidak banyak, aku sudah mempersiapkan dana darurat
yang dapat digunakan sewaktu-waktu.
Untuk
membeli kebutuhan logistik sehari-hari; makanan, minuman, alat-alat mandi,
sembako dan lain lain, aku biasanya membeli di toko kecil yang letaknya tidak
jauh dari lokasi kosan ku. Toko kecil
itu dimiliki dan dikelola oleh warga asli setempat. Lokasi kosan ku ini, yang
dekat dengan pintu masuk belakang kampus, merupakan salah satu lokasi utama mahasiswa
kampus ku untuk ngekos. Banyaknya
mahasiswa yang ngekos dilokasi ini merupakan berkah tersendiri untuk
warga. Selain mendapatkan uang sewa kos
bagi pemiliknya, banyak warga juga mendirikan toko dan warung kecil. Toko dan
warung kecil warga yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, alat tulis, hingga
jasa laundry. Aku menyebut toko dan warung kecil seperti ini dengan Bang Udin
Mart.
Lho
kok, kenapa ya aku menyebutnya dengan istilah Bang Udin Mart ?, tidak Warung
Bang Udin saja ?. Alasan pertama adalah karena penjualnya sebagian besar
laki-laki, dan toko kecil langganan ku dimiliki oleh seorang penjual yang aku
panggil dengan Bang Udin. Bang Udin
adalah warga asli setempat yang berusia paruh baya. Entah sudah berapa tahun
Bang Udin Mart berdiri, yang jelas sejak aku ngekos, Bang Udin Mart sudah ada. Alasan
kedua penyebutan Bang Udin Mart adalah karena aku ingin membandingkannya dengan
“Mart” lain yang ingin ku ceritakan di tulisan ku ini.
Sejak
aku menginjak semester enam, di dekat kosan ku berdiri sebuah supermarket kecil
atau banyak orang bilang dengan sebutan minimarket. Mini market ini juga
menjual berbagai barang kebutuhan sehari-jari, sama seperti Bang Udin Mart,
bahkan lebih lengkap. Sebelumnya minimarket seperti ini sudah ada didalam
lokasi kampus, disalah satu fakultas. Aku menyebut minimarket ini dengan Omega Mart.
Kenapa aku menyebutnya begitu ? alasannya sederhana saja. Aku tidak ingin
menyebut kan suatu merek, bisa rumit urusannya nanti. Toh, kamu pun sudah tahu
maksud ku apa kan ?
Dari
awal berdiri, Omega Mart selalu ramai dikunjungi konsumennya. Sejak adanya Omega Mart, orang-orang ini jadi
memiliki pilihan lokasi belanja dan jajan baru.
Memang lengkap barangnya, tidak hanya kebutuhan sehari-hari, sembako, ada
juga es krim dan CD musik, alat tulis, buku hingga majalah.
Aku
pun sering berbelanja disana. Aku jadi punya rutinitas baru. Sehabis menerima
honor sebagai pengajar bimbel, diawal bulan sejumlah uang aku belanjakan di
Omega Mart untuk membeli kebutuhan sehari-hari untuk sebulan. Terkadang aku
juga jajan disana. Praktis sekali, satu tempat menyediakan berbagai macam barang
kebutuhan dan keinginan kita. Sejuk dan
rapi pula tempatnya.
Aku pun jadi makin
jarang berbelanja di Bang Udin Mart, toko langganan ku sebelumnya. Paling hanya
sesekali kalau aku sedang malas pergi jauh-jauh. Waktu itu aku tidak sadar
bahwa aku berada dalam lingkaran setan pembunuh ekonomi Bang Udin Mart dan
kawan-kawan sejawatnya. Sampai suatu saat aku merasa “ditegur”.
Suatu hari aku hendak
membeli suatu barang, namun, aku tidak mendapatkannya di Omega Mart. Tumben sekali ada barang yang tidak aku
dapatkan di Omega Mart. Begitu kata ku dalam hati. Kemudian aku mencarinya
ke Bang Udin Mart, warung kecil langganan ku dulu.
Di Bang Udin Mart.
“ Bang Udin, ada Kuper Bubur ga ? “ kata ku kepada
penjaga Bang Udin Mart, bang Udin, menyebuukan salah satu merek bubur instan.
Tentu saja di tulisan ini merek Kuper
Bubur aku samarkan dari nama merek aslinya.
“ Ada nih Mas Basir,
tinggal dua. Mau beli berapa ? “ jawab bang Udin menunjuk dua bungkus Kuper Bubur di atas etalase.
“ Saya ambil dua-dua
nya, ya Bang “
Bang Udin pun mengambil
dua bungkus Kuper Bubur dan
memberikannya pada ku. Sengaja Bang Udin tidak memasukkan nya kedalam kantong plastik
kresek. Dia tahu kebiasaan ku untuk membawa tas belanja sendiri. Mengurangi
sampah.
“ Terimakasih, Bang “
kata ku sambil memasukkan dua bungkus Kuper
Bubur dan memberikan uang pembelian ke Bang Udin.
“ Ngomong-ngomong, Mas
Basir sudah jarang belanja disini, nih. Belanjanya pindah ke Omega Mart yang
baru itu ya ? “ tanya Bang Udin setelah menerima uang ku.
Sebenarnya jawaban dari
pertanyaan ini adalah iya, tapi aku rasa jawaban itu bisa membuat Bang Udin
sedih atau kecewa atau bahkan tersinggung. Jadi aku memberikan jawaban lain.
“ Oh, ngga kok, Bang.
Saya juga jarang ke Omega Mart situ. Kebetulan akhir-akhir ini saya sering
pulang malam., jadi ga sempat belanja atau jajan. Begitu “ kilah ku.
“ Oh, iya, lagi sering
ngajar kelas malam ya, Mas ? “ tanya Bang Udin lagi. Dia memang sudah tahu
kalau aku sambil kuliah bekerja sebagai pengajar bimbel.
“ Ya, seperti itu deh,
Bang… “
Entah karena tidak enak
atau apa, aku pun spontan membeli beberapa barang lagi di toko Bang Udin. Aku
juga tidak tahu apakah barang-barang itu aku butuhkan atau tidak.
“ Sekarang, sejak ada
Omega Mart, toko-toko kecil seperti punya saya ini makin sepi saja. Orang-orang
pada pindah belanja kesitu. Beli sabun cuci piring aja kesana, padahal sama
harganya. Lebih deket toko saya ini pula… “ curhat Bang Udin sambil mengambil
barang-barang yang aku beli di etalase tokonya.
“ Yah, habis gimana,
disana kan tempatnya bagus… ada AC nya pula. Terus juga pasti keliatan keren
kalau belanja disana. Lha, kalau belanja di warung-warung kecil kayak saya gini pasti kelihatan jelek
dan kumuh, ya Mas Basir ? “ Bang Udin masih curhat, aku diam saja mendengarkan.
“ Kami pedagang kecil
ini mana bisa bertahan lama-lama melawan pemodal besar seperti Omega Mart dan
semacamnya. Banyak toko kecil yang sudah tutup disekitar sini, entah kapan
punya saya ini menyusul. Lha kita lebih sering merugi. Yah, saya tetap berusaha
bertahan, dengan mengurangi jumlah belanjaan, atau buka lebih pagi dan lebih
lama dari Omega Mart. Biar bagaimanapun, toko ini kan menopang hidup keluarga
saya “ Bang Udin berkisah dengan sendu.
“ Padahal dulu nih ya,
Mas Basir, dari pendapatan toko ini, saya bisa menyekolahkan anak-anak, bisa
beli tanah dan rumah sendiri, bisa nabung juga buat hari tua. Ya, kecil-kecil
juga toko ini menghidupi kami. Lha
sekarang, sudah balik modal saja saya sudah bersyukur sekali… ”
“ Lho, kok saya jadi
curhat begini ya, Mas Basir ?. hehe. “ Bang Udin terkekeh-kekeh “ Mohon maaf
sudah bikin Mas Basir dengerin saya
yang ga jelas ini “ ujar Bang Udin
selagi memberikan belanjaan ku
.
“ Oh, iya, Bang. Ga
apa-apa kok, saya malah jadi belajar banyak hal dari cerita Abang barusan. Saya
ga bisa banyak bantu Bang Udin, selain ikut berbelanja disini juga. Saya doakan
semoga toko Bang Udin ini akan terus ramai oleh pembeli ya, Bang “
“ Amin.. Amin. “ Bang
Udin mengamin kan, “ Sudah semua kan, Mas Basir belanjanya ? “ tanya nya.
“ Oh, iya sudah, kok.
Terimakasih banyak ya, Bang ! “ kata ku. Ku jabat tangan Bang Udin. Lalu aku
pun beranjak dari tokonya. Membawa serta
sekelumit perasaan yang mengganggu.
Dalam
perjalanan pulang ke kosan, sempat ku tengok toko kecil milik Bang Udin lagi. Bang
Udin Mart, toko kecil yang didirikan dengan penuh pengharapan akan sedikit rejeki
tiap hari. Toko yang sedang berjuang melawan perubahan yang tidak pernah mereka
hadapi sebelumnya. Menghadapi skema persaingan usaha yang tidak sehat pemodal
besar minimarket yang didukung birokrat.
Hanya berjarak kurang
dari seratus meter darinya, berdiri megah Omega Mart. Bermodal besar dan
semakin menguasai pasar. Belakangan ini jumlah Omega Mart dan sebangsanya memang
makin banyak saja. Di sekitar kampus ku saja tidak kurang ada sepuluh
minimarket seperti Omega Mart ini, mengepung dari berbagai penjuru. Canggihnya lagi semua Omega Mart cs ini selalu
ramai dengan konsumen. Hal itu tentu
berbanding terbalik dengan nasib Bang Udin Mart cs yang semakin ditinggalkan
dan terlantar.
Semakin banyak
toko-toko kecil yang gulung tikar. Pendirian Omega Mart cs memang keterlaluan,
tidak pandang jarak dengan toko-toko kecil ini. Bahkan ada yang didirikan tepat
didepan lokasi pedagang-pedagang kecil.
Berdiri angkuh dan menantang. Mengajak berkompetisi dalam padanan
kemampuan yang tidak seimbang. Nyaris sebagian besar toko kecil yang berdiri
dekat Omega Mart lama-lama menjadi tidak laku dan semakin tersudut. Banyak yang
tutup atau beralih profesi. Siapa gerangan yang harus bertanggung jawab atas
semua ini ?
Konyol sekali apabila
pemerintah pusat maupun daerah, diantara jargon-jargon kemandirian ekonomi bangsa
dan ekonomi kerakyatan justru ikut membunuh sebagian besar bentuk ekonomi
rakyat. Itu semua karena mereka lebih berpihak kepada Omega Mart cs. Betapa memuakkan nya nilai-nilai kapitalisme
yang sudah membuat rakyat Indonesia yang memiliki modal memakan rakyat Indonesia
yang lain, yang lebih kecil dan yang lebih mudah untuk dibinasakan. Menjijikkan sekali nafsu-nafsu kekayaan dan
keserakahan yang dengan bantuan modal dan birokrasi kongkalingkong, membuat
sedemikian mudah pendirian toko-toko ritel besar, minimarket, toko buah, mall,
pusat perbelanjaan, bahkan diatas lahan yang diperuntukkan untuk kemaslahatan
masyarakat. Semakin sedikit saja area terbuka hijau, lapangan bermain
masyarakat, apalagi sarana olahraga. Seperti ini ingin dibilang mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan berperadaban ?
Mengingat semua itu,
aku ikut merasa bersalah. Karena toh sedikit banyak aku pun “membantu” Omega
Mart cs menganiaya Bang Udin Mart cs. Aku merasa sama egois dan apatisnya
dengan kebanyakan orang yang belum juga sadar telah terjadi sesuatu yang gawat
disekitar mereka. Aku juga gagal melihat kepentingan yang lebih besar, gagal
melihat lebih jauh, lebih luas dari sekedar kenyamanan pribadi dan gengsi. Aku
gagal melihat bahwa memberdayakan dan melestarikan Bang Udin dan kawan-kawan
berarti juga membantu menjalankan ekonomi Indonesia yang sesungguhnya. Bukan
ekonomi konglomerasi atau pemodal besar, namun ekonomi toko-toko kecil, ekonomi
warung kaki lima, ekonomi gerobak, atau pun koperasi, yang telah terbukti sekian
kali menyelamatkan ekonomi Indonesia dari terpaan badai krisis.
Apakah
dikemudian hari, Indonesia akan sedemikian banyak berubah ?. akan kemana Bang
Udin dan kawan-kawan? Akan seperti apa mereka ? tidak ada kah yang bisa kita
lakukan ? Kita memang tidak bisa berbuat
banyak melawan hegemoni Omega Mart dan sebangsanya. Tapi masih ada yang bisa
kita lakukan. Walaupun itu kecil, walaupun itu baru dimulai dari diri kita
sendiri. Mungkin terkesan sepele tapi itu akan menjadi kekuatan yang besar jika
dilakukan bersama-sama. Kita bisa membantu perjuangan Bang Udin dan kawan-kawannya
dengan terus sebisa mungkin berbelanja di Bang Udin Mart cs. Aku telah memutuskan
ikut berjuang bersama mereka. Maukah kau bergabung bersama kami ?
0 comments:
Post a Comment