Thursday, August 9, 2012

Satu Hikmah Lagi Dari Bulan Ramadhan Bagian 1


Satu Hikmah Lagi Dari Bulan Ramadhan
Bagian 1

       Seperti biasa, penetapan hari pertama Ramadhan (tanggal 1 Ramadhan) tahun ini berbeda antara “kubu” pemerintah dan ormas Muhammadiyah.  Sebenarnya juga ada kelompok masyarakat yang berbeda waktu pelaksaan hari pertama puasanya, namun perbedaan dengan Muhammadiyah selalu saja jadi tajuk utama berita. Pemerintah menetapkan hari pertama puasa adalah pada hari sabtu, sedangkan Muhammadiyah sudah berpuasa sehari sebelumnya.
Jaga Silaturahmi =)
      Aku sekeluarga mengikuti hari yang ditetapkan pemerintah.  Argumen ku sederhana, seperti yang pernah diajarkan bapak.  Pemerintah dalam hal ini kementrian agama adalah imam untuk rakyat Indonesia.  Bapak menganjurkan untuk selalu mengikuti imam yang ada, selama itu tidak melanggar syariat dan merupakan suara mayoritas.  Jadilah aku puasa pertama pada hari sabtu.
     Berkaitan dengan anjuran bapak untuk selalu mengikuti imam, satu hari dalam Ramadhan ini, aku memiliki pengalaman yang takkan terlupakan.
            … … …
          Seperti halnya dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan,  salat Tarawih yang dijalani umat muslim sebagai salah satu ibadah dalam bulan puasa pun berbeda dalam hal pelaksanaannya.  Dalam hal ini adalah jumlah rakaat yang dijalankan serta hal-hal seperti khutbah salat Tarawih, dan pembacaan doa qunut.
         Aku dalam hal ini juga mengikuti anjuran dari bapak ku, imam dalam keluarga kami, untuk senantiasa mengikuti apa yang imam jalankan.  Maka aku bisa saja menjalani salat Tarawih dan Witir dengan total 23 rakaat atau 11 rakaat, tergantung imam di masjid/musala yang bersangkutan.  Sebagai contoh, di masjid Baitul Halim, di lingkungan rumah keluarga kami di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, rakaat salat Tarawih dan Witir yang di jalankan adalah 23 rakaat. Sedangkan di Masjid Ukhuwah Islamiyah, masjid utama di kampus Depok Universitas Indonesia, jumlah rakaat yang dijalankan adalah 11 rakaat.
         Tidak seperti sekelompok kecil teman ku yang sedemikian mempermasalahkan perbedaan soal jumlah rakaat ini, aku tidak merasa perlu meributkannya.  Ya itu tadi, selama ini tidak menyalahi syariat dan merupakan suara mayoritas. Kecuali itu datang dari golongan orang yang menduakan Rasulullah SAW apalagi Allah SWT. Naudzubillahi min dzalik.
         Malam itu, bersama dengan kakak kelas yang satu kosan, kak Sigit namanya, aku akan menjalani salat Tarawih.  Kak Sigit mengajak ku untuk ikut dia salat di masjid tempat dia menimba ilmu membaca dan menghapal Al-Qur’an, masjid Fatahillah namanya.  Selain agar aku salat Tarawih secara berjamaah ( terkadang aku memang salat sendiri di kamar ), kak Sigit ingin aku agar merasakan rasanya salat dengan bacaan 1 juz Ayat Al-Qur’an semalam.  
        Kak Sigit bilang, rakaat salat di masjid Fatahillah berjumlah sebelas. Dan, Imam akan membacakan ayat-ayat Al-Aqur’an hingga sebanyak 1 juz dalam rakaat-rakat itu. Hal ini memang pengalaman yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.  Di masjid UI, kalaupun berjumlah sebelas rakaat, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan imam tidak sampai 1 juz. Jadilah aku dan kak Sigit  malam itu salat Tarawih berjamaah di masjid Fatahillah.
Masjid Fatahillah merupakan masjid yang terletak di kawasan yang cukup terpencil di kota Depok.  Lokasi nya di wilayah Tanah Baru, masuk ke dalam suatu kompleks perumahan.  Untuk mencapainya, perlu waktu sekitar sepuluh menit perjalanan dari kosan ku yang terletak di wilayah Kelurahan Kukusan.
Sesampainya di masjid Fatahillah, aku kaget.
Para jamaah pria di masjid Fatahillah, semuanya, aku ulangi, semuanya mengenakan gamis dan celana yang cingkrang.  Tidak sebagian besar jamaah, tapi semua jamaah masjid yang pria, bahkan yang anak-anak.  Sedangkan jamaah wanita, sebagian besar mengenakan hijab yang berwarna hitam.  Sedangkan aku saat itu, hanya mengenakan kemeja batik dan celana jeans yang aku pakai untuk mengajar kelas bimbel siang tadi.  Aku jadi merasa paling asing. Tampaknya para jamaah lainnya pun menyadari keberadaan satu orang ini yang berbeda sendiri.  Kak Sigit hanya cengar cengir saja melihat ekspresi keterasingan ku.
        “ Udah,santai aja. kan ente niatnya mau salat, sama kaya yang lain. Sudah menutupi aurat pakaian ente “ begitu kata kak Sigit sambil cengar-cengir.
        
        Aku pun mengambil wudhu di keran dekat tempat parkir motor, bersama beberapa jamaah yang lain.
        Informasi yang aku dapat dari kak Sigit, masjid Fatahillah sebenarnya bukan masjid, namun aula sebuah kantor.  Pemilik kantor berbaik hati memberikan aula kepada para jamaah untuk melakukan salat-salat berjamaah.  Kenapa tidak mendirikan masjid saja ? aku juga kurang tahu. Tapi, mungkin karena sekelompok jamaah seperti ini pasti mencolok sekali di suatu masyarakat.
         Lho ? kok aku bisa-bisanya sih berpikir begitu ?.
        Aku pernah mendengar suatu pengalaman miris tentang kak Sigit.  Semenjak ikut belajar Al-Quran di masjid Fatahillah ini, kak Sigit secara konsekuen menjalankan beberapa sunah Rasul yang mungkin hingga sekarang dianggap “ tidak umum “.  Kak Sigit memelihara jenggotnya hingga panjang, selalu mengenakan baju gamis, bercelana bahan cingkrang, bersiwak, dan memakai wewangian khusus. Oh iya, apa itu celana yang cingkrang ? yaitu celana yang panjangnya tidak mencapai mata kaki, hanya sampai lutut lebih sedikit.
         Nah, setelah lulus kuliah, kak Sigit sempat beberapa lama tidak bisa mendapat pekerjaan. Berbagai lamaran dikirimkan, berbagai perusahaan disambangi, tapi semuanya menolak. Sekalinya dipanggil, kak Sigit tidak lolos seleksi wawancara.  Dalam suatu kesempatan, kak Sigit bercerita pada ku.  Waktu itu, kak Sigit sudah berjenggot panjang, dan selalu mengenakan baju gamis dan celana cingkrang dalam berbagai kesempatan.
          “ Gimana ya, ane bingung. Sudah kirim lamaran kemana-mana, ga pernah tembus. Padahal sudah satu tahun lebih. Ga enak sama ibu-bapak di Kebumen “ begitu curhat kak Sigit. Oh, iya, kak Sigit berasal dari Kebumen.
         “ Wah kak.. namanya juga rejeki. Nanti juga akan datang kesempatan kak Sigit “ kata ku berusaha menghibur.
        Kak Sigit lalu menunjukkan beberapa berkas lamarannya, dan aku pun menemukan satu hal yang mungkin menjadi penyebab lamaran-lamaran kak Sigit selalu ditolak.
         “ Kak Sigit ngelamar pekerjaan dengan ngirimin foto yang ini kak ? “ tanya ku menunjuk pada sebuah foto kak Sigit yang berjenggot panjang.
          “ Iya, karena diminta foto terbaru, ya ane kan udah berjenggot gini, ya jadi foto itu yang ane kirim “
        “ Wah, kak Sigit. Saya mau nyampein sesuatu tapi jangan tersinggung ya… kayaknya lamaran-lamaran ente ditolak karena kak Sigit dikira teroris deh ! hehehe “ kelakar ku.
          “ Ah, ente bisa saja. Tapi iya sih, ane juga sempet kepikiran. Jangan-jangan orang-orang yang ngeliat lamaran ane ngira ane nih komplotan teroris bom Bali kali ya? Heheh “
          “ Kak Sigit ga kepikiran buat potong jenggot dulu gitu ? Yah, katanya kak Sigit kan pengen banged bisa kerja, buat nyenengin ibu-bapak di kampung. Mungkin waktunya manjangin jenggot ga sekarang kak… masih ada juga sunnah nabi yang lain, yah, saya cuma asal ngomong sih. Kadar iman saya aja masih berantakan gini. Hehe.”
           “ hihi, kalo gitu ditingkatin, Bas, kadar iman kamu ! “ ledek kak Sigit
        Begitulah percakapan kami malam itu. Esoknya, kak Sigit memotong habis jenggot nya. Aku membantu kak Sigit menyiapkan foto terbaru.  Kak Sigit berfoto menggunakan setelan jas hitam, dengan jenggot yang sudah tercukur bersih…
        Alhamdulillah seminggu kemudian, kak Sigit diterima bekerja.
… … … Bersambung.
  • Stumble This
  • Fav This With Technorati
  • Add To Del.icio.us
  • Digg This
  • Add To Facebook
  • Add To Yahoo

1 comments:

Unknown said...

maaf, ya
ane nggak setuju yang di lakukan kak sigit, dia itu tetangga ane, waktu dia tinggal d fatahillah,
ana pindah2 kerja, dengan janggut lumayan juga,
tapi carilah jalan yang paling selamat,

Post a Comment