Satu Hikmah Lagi Dari Bulan Ramadhan
Bagian 1
Seperti
biasa, penetapan hari pertama Ramadhan (tanggal 1 Ramadhan) tahun ini berbeda
antara “kubu” pemerintah dan ormas Muhammadiyah. Sebenarnya juga ada kelompok masyarakat yang
berbeda waktu pelaksaan hari pertama puasanya, namun perbedaan dengan
Muhammadiyah selalu saja jadi tajuk utama berita. Pemerintah menetapkan hari
pertama puasa adalah pada hari sabtu, sedangkan Muhammadiyah sudah berpuasa
sehari sebelumnya.
Jaga Silaturahmi =) |
Aku
sekeluarga mengikuti hari yang ditetapkan pemerintah. Argumen ku sederhana, seperti yang pernah
diajarkan bapak. Pemerintah dalam hal
ini kementrian agama adalah imam untuk rakyat Indonesia. Bapak menganjurkan untuk selalu mengikuti
imam yang ada, selama itu tidak melanggar syariat dan merupakan suara
mayoritas. Jadilah aku puasa pertama
pada hari sabtu.
Berkaitan
dengan anjuran bapak untuk selalu mengikuti imam, satu hari dalam Ramadhan ini,
aku memiliki pengalaman yang takkan terlupakan.
…
… …
Seperti
halnya dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan,
salat Tarawih yang dijalani umat muslim sebagai salah satu ibadah dalam
bulan puasa pun berbeda dalam hal pelaksanaannya. Dalam hal ini adalah jumlah rakaat yang
dijalankan serta hal-hal seperti khutbah salat Tarawih, dan pembacaan doa
qunut.
Aku
dalam hal ini juga mengikuti anjuran dari bapak ku, imam dalam keluarga kami,
untuk senantiasa mengikuti apa yang imam jalankan. Maka aku bisa saja menjalani salat Tarawih
dan Witir dengan total 23 rakaat atau 11 rakaat, tergantung imam di masjid/musala
yang bersangkutan. Sebagai contoh, di
masjid Baitul Halim, di lingkungan rumah keluarga kami di Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan, rakaat salat Tarawih dan Witir yang di jalankan adalah 23
rakaat. Sedangkan di Masjid Ukhuwah Islamiyah, masjid utama di kampus Depok
Universitas Indonesia, jumlah rakaat yang dijalankan adalah 11 rakaat.
Tidak
seperti sekelompok kecil teman ku yang sedemikian mempermasalahkan perbedaan
soal jumlah rakaat ini, aku tidak merasa perlu meributkannya. Ya itu tadi, selama ini tidak menyalahi
syariat dan merupakan suara mayoritas. Kecuali itu datang dari golongan orang
yang menduakan Rasulullah SAW apalagi Allah SWT. Naudzubillahi min dzalik.
Malam
itu, bersama dengan kakak kelas yang satu kosan, kak Sigit namanya, aku akan menjalani
salat Tarawih. Kak Sigit mengajak ku
untuk ikut dia salat di masjid tempat dia menimba ilmu membaca dan menghapal Al-Qur’an,
masjid Fatahillah namanya. Selain agar
aku salat Tarawih secara berjamaah ( terkadang aku memang salat sendiri di
kamar ), kak Sigit ingin aku agar merasakan rasanya salat dengan bacaan 1 juz
Ayat Al-Qur’an semalam.
Kak Sigit bilang, rakaat salat di masjid Fatahillah berjumlah sebelas. Dan, Imam akan membacakan ayat-ayat Al-Aqur’an hingga sebanyak 1 juz dalam rakaat-rakat itu. Hal ini memang pengalaman yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Di masjid UI, kalaupun berjumlah sebelas rakaat, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan imam tidak sampai 1 juz. Jadilah aku dan kak Sigit malam itu salat Tarawih berjamaah di masjid Fatahillah.
Kak Sigit bilang, rakaat salat di masjid Fatahillah berjumlah sebelas. Dan, Imam akan membacakan ayat-ayat Al-Aqur’an hingga sebanyak 1 juz dalam rakaat-rakat itu. Hal ini memang pengalaman yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Di masjid UI, kalaupun berjumlah sebelas rakaat, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan imam tidak sampai 1 juz. Jadilah aku dan kak Sigit malam itu salat Tarawih berjamaah di masjid Fatahillah.
Masjid Fatahillah
merupakan masjid yang terletak di kawasan yang cukup terpencil di kota Depok. Lokasi nya di wilayah Tanah Baru, masuk ke
dalam suatu kompleks perumahan. Untuk
mencapainya, perlu waktu sekitar sepuluh menit perjalanan dari kosan ku yang
terletak di wilayah Kelurahan Kukusan.
Sesampainya di masjid
Fatahillah, aku kaget.
Para jamaah pria di masjid Fatahillah, semuanya, aku ulangi, semuanya mengenakan gamis dan celana yang cingkrang. Tidak sebagian besar jamaah, tapi semua jamaah masjid yang pria, bahkan yang anak-anak. Sedangkan jamaah wanita, sebagian besar mengenakan hijab yang berwarna hitam. Sedangkan aku saat itu, hanya mengenakan kemeja batik dan celana jeans yang aku pakai untuk mengajar kelas bimbel siang tadi. Aku jadi merasa paling asing. Tampaknya para jamaah lainnya pun menyadari keberadaan satu orang ini yang berbeda sendiri. Kak Sigit hanya cengar cengir saja melihat ekspresi keterasingan ku.
Para jamaah pria di masjid Fatahillah, semuanya, aku ulangi, semuanya mengenakan gamis dan celana yang cingkrang. Tidak sebagian besar jamaah, tapi semua jamaah masjid yang pria, bahkan yang anak-anak. Sedangkan jamaah wanita, sebagian besar mengenakan hijab yang berwarna hitam. Sedangkan aku saat itu, hanya mengenakan kemeja batik dan celana jeans yang aku pakai untuk mengajar kelas bimbel siang tadi. Aku jadi merasa paling asing. Tampaknya para jamaah lainnya pun menyadari keberadaan satu orang ini yang berbeda sendiri. Kak Sigit hanya cengar cengir saja melihat ekspresi keterasingan ku.
“
Udah,santai aja. kan ente niatnya mau
salat, sama kaya yang lain. Sudah menutupi aurat pakaian ente “ begitu kata kak Sigit sambil cengar-cengir.
Aku pun mengambil wudhu di keran dekat tempat parkir motor, bersama beberapa jamaah yang lain.
Informasi
yang aku dapat dari kak Sigit, masjid Fatahillah sebenarnya bukan masjid, namun
aula sebuah kantor. Pemilik kantor
berbaik hati memberikan aula kepada para jamaah untuk melakukan salat-salat
berjamaah. Kenapa tidak mendirikan
masjid saja ? aku juga kurang tahu. Tapi, mungkin karena sekelompok jamaah
seperti ini pasti mencolok sekali di suatu masyarakat.
Lho
? kok aku bisa-bisanya sih berpikir begitu ?.
Aku
pernah mendengar suatu pengalaman miris tentang kak Sigit. Semenjak ikut belajar Al-Quran di masjid
Fatahillah ini, kak Sigit secara konsekuen menjalankan beberapa sunah Rasul
yang mungkin hingga sekarang dianggap “ tidak umum “. Kak Sigit memelihara jenggotnya hingga
panjang, selalu mengenakan baju gamis, bercelana bahan cingkrang, bersiwak, dan
memakai wewangian khusus. Oh iya, apa itu celana yang cingkrang ? yaitu celana
yang panjangnya tidak mencapai mata kaki, hanya sampai lutut lebih sedikit.
Nah,
setelah lulus kuliah, kak Sigit sempat beberapa lama tidak bisa mendapat
pekerjaan. Berbagai lamaran dikirimkan, berbagai perusahaan disambangi, tapi
semuanya menolak. Sekalinya dipanggil, kak Sigit tidak lolos seleksi wawancara. Dalam suatu kesempatan, kak Sigit bercerita
pada ku. Waktu itu, kak Sigit sudah
berjenggot panjang, dan selalu mengenakan baju gamis dan celana cingkrang dalam
berbagai kesempatan.
“
Gimana ya, ane bingung. Sudah kirim
lamaran kemana-mana, ga pernah tembus. Padahal sudah satu tahun lebih. Ga enak
sama ibu-bapak di Kebumen “ begitu curhat kak Sigit. Oh, iya, kak Sigit berasal
dari Kebumen.
“
Wah kak.. namanya juga rejeki. Nanti juga akan datang kesempatan kak Sigit “
kata ku berusaha menghibur.
Kak
Sigit lalu menunjukkan beberapa berkas lamarannya, dan aku pun menemukan satu
hal yang mungkin menjadi penyebab lamaran-lamaran kak Sigit selalu ditolak.
“
Kak Sigit ngelamar pekerjaan dengan
ngirimin foto yang ini kak ? “ tanya ku menunjuk pada sebuah foto kak Sigit
yang berjenggot panjang.
“
Iya, karena diminta foto terbaru, ya ane
kan udah berjenggot gini, ya jadi foto itu yang ane kirim “
“
Wah, kak Sigit. Saya mau nyampein
sesuatu tapi jangan tersinggung ya… kayaknya lamaran-lamaran ente ditolak karena kak Sigit dikira
teroris deh ! hehehe “ kelakar ku.
“
Ah, ente bisa saja. Tapi iya sih, ane
juga sempet kepikiran. Jangan-jangan orang-orang yang ngeliat lamaran ane ngira ane
nih komplotan teroris bom Bali kali ya? Heheh “
“
Kak Sigit ga kepikiran buat potong jenggot dulu gitu ? Yah, katanya kak Sigit
kan pengen banged bisa kerja, buat
nyenengin ibu-bapak di kampung. Mungkin waktunya manjangin jenggot ga sekarang
kak… masih ada juga sunnah nabi yang lain, yah, saya cuma asal ngomong sih.
Kadar iman saya aja masih berantakan gini. Hehe.”
“
hihi, kalo gitu ditingkatin, Bas, kadar iman kamu ! “ ledek kak Sigit
Begitulah
percakapan kami malam itu. Esoknya, kak Sigit memotong habis jenggot nya. Aku
membantu kak Sigit menyiapkan foto terbaru.
Kak Sigit berfoto menggunakan setelan jas hitam, dengan jenggot yang
sudah tercukur bersih…
Alhamdulillah
seminggu kemudian, kak Sigit diterima bekerja.
… … … Bersambung.
1 comments:
maaf, ya
ane nggak setuju yang di lakukan kak sigit, dia itu tetangga ane, waktu dia tinggal d fatahillah,
ana pindah2 kerja, dengan janggut lumayan juga,
tapi carilah jalan yang paling selamat,
Post a Comment