MENUNDA POM BENSIN
Hari ini seperti biasa, pada hari Kamis saya
mengajar salah seorang murid saya di SMA N 28, Harman Yusuf namanya. Lokasi
rumahnya cukup dekat dengan sekolah, jadi waktu yang harus saya tempuh untuk
menuju ke rumahnya juga cukup sebentar. Sudah lebih kurang 6 bulan saya
mengajar Harman Biologi AS Level Cambridge Curriculum. Harman termasuk anak
yang tekun belajar dan selalu ingin tahu banyak hal.
Harman adalah anak sulung dari 3 bersaudara. Adik-adiknya,
Hamdi dan Habibi sering ikut (mengganggu) kami belajar di lantai 2. Hamdi duduk di kelas 7 SMP N 41 sedangkan
Habibi masih kelas 1 SD. Menurut pengamatan saya selama ini , ketiganya
merupakan kakak-beradik yang sungguh akrab dan akur. Keluarga Harman Yusuf pun
terhitung sebagai keluarga yang harmonis dan kompak. Saya ingat sekali pernah
diajak Ayah Harman untuk dipijat bersama Harman dan beliau dengan menggunakan
jasa tukang pijat panggilan. Eh, momen saat ayah dan anak dipijat bersama tukang
pijat itu termasuk kriteria kompak ga sih ?
Di tulisan ini saya ingin membahas hal lain.
Lebih kurang dua jam saya mengajar Harman per
sesinya. Biasanya kami belajar selama 2 sesi tiap minggu pada hari Selasa dan
Kamis. Mulai mengajar pukul 4 atau pukul 6 sore, tergantung kesibukan saya di
sekolah. Sepulang dari sana saya biasanya sampai rumah atau kontrakan cukup
malam dan menguras tenaga.
Bukan, bukan karena saya begitu lelah habis
mengajar. Saya suja mengajar, bukan ?
Saya lelah sekali karena sepulang dari rumah Harman
biasanya saya menghabiskan waktu lebih kurang 1 jam untuk bermacet-ria di
jalanan menuju Depok. Dan lambat laun saya jemu. Akhirnya hari ini saya membuat
kesepakatan dengan Harman.
Saya minta izin untuk pulang lebih malam dari
rumahnya untuk menghindari macet.
Perhitungan saya begini. Jika saya pulang pukul 18.30
menit, biasanya saya akan sampai rumah sekitar pukul 20.00. Namun kalau saya
pulang pukul 19.30, saya pun juga akan sampai sekitar pukul 20.00. Kok bisa
begitu sih ?
Jam orang-orang melakukan perjalanan pulang kantor umumnya terjadi sekitar pukul 17.00 sampai 19.00.
Di waktu-waktu itu jalanan begitu penuh sesak dengan kendaraan bermotor,
terutama sepeda motor. Dan jalan yang saya lalui untuk pulang ke rumah (Lenteng
Agung, Tanjung Barat, dan Margonda) merupakan jalan-jalan yang merupakan
jalanan langganan macet.
Dan jujur, saya kurang suka menghabiskan waktu saya
di tengah kemacetan. Bergerak perlahan dengan menarik gas pelan-pelan membuat
saya bosan. Terlebih dengan sopan santun dan kesabaran orang-orang pengguna
jalan yang semakin berkurang saja.
Ah. Sungguh itu sangat menjemukan!
Akhirnya hari ini saya memulai hari pertama saya
menunda pulang dari rumah Harman.
Saya
selesai mengajar ( yang sengaja saya perpanjang waktu mengajarnya ) sekitar
pukul 18.30 hari ini. Kami solat Maghrib berjamaah. Oh iya, saya membiasakan
murid-murid privat saya untuk melakukan solat berjamaah. Setelah solat, kami
mendiskusikan berbagai hal. Tentang pelajaran, tentang berbagai kabar di
sekolah, hingga tentang komik-komik yang sedang Harman pinjamkan ke saya.
Kebetulan sekali hari ini kami juga makan mie Aceh.
Alhamdulillah.
Lho kok ga fokus lagi.
Adzan Isya pun berkumandang, kami melakukan solat
berjamaah lagi. Setelah itu saya bersiap untuk pulang. Harman mengantarkan saya
sampai depan rumah.
Saat mencapai motor saya untuk beranjak pulang, saya
melihat di tampilan fuelmeter motor saya sedang membutuhkan bahan bakar. Saya
hitung-hitung bahan bakar itu masih cukup untuk memacu motor sampai pom bensin
terdekat.Saya tidak terlalu khawatir.
Dalam perjalanan pulang, memang jalan tidak
semerta-merta lengang sesuai apa yang saya rencakan. Namun, kondisi tersebut
masih jauh lebih baik daripada di hari-hari sebelumnya. Saya yakin saya bisa mencapai
Depok lebih cepat dengan kondisi lalu lintas seperti ini.
Melewati pom bensin tempat saya biasa mengisi premium,
saya melihat lagi fuel meter. Saya rasa bahan bakar masih cukup untuk memacu
motor. Saya membatalkan untuk mengisi premium di pom bensin tersebut. Saya
membuat rencana baru untuk mengisi premium di tiga pom bensin selanjutnya yang saya tahu. Saya mengulang-ngulang
menyebut premium karena memang saya belum bisa move-on dari bahan bakar
bersubsidi ini.
Lebih kurang 10 menit saya sampai ke pom bensin
tujuan. Saat itu antrian sudah panjang mengular. Saya bergabung pada salah satu
antrian premium bersama para pengendara penikmat BBM bersubsidi lainnya.
Momen-momen menunggu antrian pengisian premium itu menimbulkan gagasan tentang
tulisan ini. Tentang Menunda Pom Bensin.
Sadarkah kita sering menunda mengisi bahan bakar
kendaraan kita karena dirasa masih cukup untuk dipacu untuk suatu jarak
tertentu ?
Saat itu, kita sudah membuat kalkulasi seberapa jauh
pom bensin terdekat yang masih bisa kita capai dengan kendaraan.
Saat itu kita yakin, bahwa bahan bakar yang masih
ada dalam kendaraan kita mencukupi untuk sampai ke tujuan yang lebih jauh. Tapi
bagaimana jika tidak ?
Bagaimana jika bahan bakar yang masih ada tersebut
ternyata tidak mencukupi untuk sampai ke tujuan baru kita ?
Bagaimana jika, dalam suatu kondisi ternyata pom
bensin tujuan baru kita itu sudah tutup atau kehabisan bahan bakar untuk dijual
?
Bagaimana pula jika, kita terpaksa harus mengantri
sekian lama karena begitu banyak orang yang sedang melakukan hal yang sama,
ingin mengisi bahan bakar di pom bensin yang sama ?. Seperti yang saya lihat malam
ini. Pom bensin tempat saya mengisi premium sungguh ramai dengan pembeli.
Kenapa tidak mereka membeli bahan bakar di pom bensin-pom bensin sebelumnya
yang berada di arah jalan yang sama.
Saya mungkin belum cerita, pom bensin lain yang saya
lewati di jalan arah saya pulang ini sungguh lengang dari pembeli. Padahal dari
segi tempat, pom bensin-pom bensin tersebut cukup rapi dan nyaman. Ada pom
bensin yang malah dilengkapi dengan food court. Tampaknya memang banyak orang
sedang melakukan “ Menunda Pom Bensin “ seperti yang saya lakukan. Padahal pom
bensin ini, yang memang pom bensin terakhir di arah jalan ini, penerangannya
aga gelap, dan tidak asri.
Kenapa banyak orang suka “ Menunda Pom Bensin ? “
Saya berpikir untuk menghubungkan hal ini dengan
kebiasaan seseorang dalam menunda sesuatu.
Saat kita akan melakukan suatu pekerjaan, seringkali
kita menunda atas dasar berbagai alasan yang mungkin cenderung dibuat-buat.
Misalnya ingin kurus, ingin olahraga tiap 3 hari, tapi selalu batal selama ini
karena belum punya sepatu lari yang layak.
Bisa juga seperti ini; ingin memulai bisnis, ingin
menapaki jalur seorang pengusaha, tapi terus menunda karena banyak kondisi
tidak ideal. Umur, kesempatan pendanaan, lokasi, modal, jaringan, tidak pintar,
tidak punya teman, dan lain-lain.
Tapi sesungguhnya keinginan untuk memulai semua itu
tidak pernah hilang. Dia tersembunyi malu-malu jauh di dalam benak. Sebetulnya
ingin kita memulai, tapi selalu menunggu untuk lebih banyak nanti-nanti.
Akhirnya mugkin kita memulai, atas suatu dorongan,
yang biasanya karena kepepet, untuk memulai hal yang tersembunyi malu-malu
tersebut. Saat itu, syukur-syukur banyak kondisi sudah menjadi ideal buat kita.
Bagaimana jika tidak ?
Bagaimana jika selama ini banyak kesempatan dan
peluang yang berseliweran di depan kita yang penakut ini akhirya diambil orang
yang lebih mau ambil resiko ? Saat itu bisa saja peluang kita sudah habis sama
sekali. Kita hanya dapat menikmati remah-remah dari kue kesempatan itu.
Bagaimana jika lari pari-lari pagi yang seharusnya
kita lakukan lebih dini itu ternyata tidak hanya menurunkan berat badan, namun
juga menghindarkan resiko dari berbagai penyakit, menambah stamina dan semangat
hidup kita, atau membuat kita menjalani hari-hari dengan lebih berenergi ?
Atau begini saja, bagaimana jika dalam suatu hari
saat kita seharusnya lari pagi (yang tidak pernah kita mulai), kita
berkesampatan bertemu orang-orang, suatu hal, suatu kesempatan yang bisa saja
membawa kita pada suatu hal lain yang begitu besar ?
Saya sejujurnya memikirkan ini di sepanjang antrian
BBM bersubsidi di pom bensin tersebut.Karena saya masih memiliki habit “
Menunda Pom Bensin “ tersebut. Kenapa ya seseorang itu sering sekali menunda ?
Kenapa tidak kita lakukan saya apa yang bisa kita lakukan sekarang untuk
kebaikan-kebaikan di hidup kita ? Selsai sekarang kan lebih baik daripada
menumpuk pekerjaan di waktu lain bukan ? belum tentu di waktu lain itu kita
sedang siap dan punya kemampuan.
Apakah menunda sudah termasuk jati diri kebanyakan
umat manusia ?
Antrian untuk mengisi premium akhirnya sampai pada
saya. Seperti biasa, saya membeli BBM bersubsidi tersebut senilai Rp15.000.
Saya melanjutkan perjalanan dengan benak penuh perenungan atas apa yang telah
saya alami pada hari ini.
Saya akan berusaha (sungguh) keras untuk tidak lagi
menunda.