Thursday, January 16, 2014

MENUNDA POM BENSIN

0 comments


MENUNDA POM BENSIN

Hari ini seperti biasa, pada hari Kamis saya mengajar salah seorang murid saya di SMA N 28, Harman Yusuf namanya. Lokasi rumahnya cukup dekat dengan sekolah, jadi waktu yang harus saya tempuh untuk menuju ke rumahnya juga cukup sebentar. Sudah lebih kurang 6 bulan saya mengajar Harman Biologi AS Level Cambridge Curriculum. Harman termasuk anak yang tekun belajar dan selalu ingin tahu banyak hal.

Harman adalah anak sulung dari 3 bersaudara. Adik-adiknya, Hamdi dan Habibi sering ikut (mengganggu) kami belajar di lantai 2.  Hamdi duduk di kelas 7 SMP N 41 sedangkan Habibi masih kelas 1 SD. Menurut pengamatan saya selama ini , ketiganya merupakan kakak-beradik yang sungguh akrab dan akur. Keluarga Harman Yusuf pun terhitung sebagai keluarga yang harmonis dan kompak. Saya ingat sekali pernah diajak Ayah Harman untuk dipijat bersama Harman dan beliau dengan menggunakan jasa tukang pijat panggilan. Eh, momen saat ayah dan anak dipijat bersama tukang pijat itu termasuk kriteria kompak ga sih ?

Di tulisan ini saya ingin membahas hal lain.

Lebih kurang dua jam saya mengajar Harman per sesinya. Biasanya kami belajar selama 2 sesi tiap minggu pada hari Selasa dan Kamis. Mulai mengajar pukul 4 atau pukul 6 sore, tergantung kesibukan saya di sekolah. Sepulang dari sana saya biasanya sampai rumah atau kontrakan cukup malam dan menguras tenaga.

Bukan, bukan karena saya begitu lelah habis mengajar. Saya suja mengajar, bukan ?

Saya lelah sekali karena sepulang dari rumah Harman biasanya saya menghabiskan waktu lebih kurang 1 jam untuk bermacet-ria di jalanan menuju Depok. Dan lambat laun saya jemu. Akhirnya hari ini saya membuat kesepakatan dengan Harman.

Saya minta izin untuk pulang lebih malam dari rumahnya untuk menghindari macet.

Perhitungan saya begini. Jika saya pulang pukul 18.30 menit, biasanya saya akan sampai rumah sekitar pukul 20.00. Namun kalau saya pulang pukul 19.30, saya pun juga akan sampai sekitar pukul 20.00. Kok bisa begitu sih ?

Jam orang-orang melakukan perjalanan pulang kantor  umumnya terjadi sekitar pukul 17.00 sampai 19.00. Di waktu-waktu itu jalanan begitu penuh sesak dengan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor. Dan jalan yang saya lalui untuk pulang ke rumah (Lenteng Agung, Tanjung Barat, dan Margonda) merupakan jalan-jalan yang merupakan jalanan langganan macet.

Dan jujur, saya kurang suka menghabiskan waktu saya di tengah kemacetan. Bergerak perlahan dengan menarik gas pelan-pelan membuat saya bosan. Terlebih dengan sopan santun dan kesabaran orang-orang pengguna jalan yang semakin berkurang saja.

Ah. Sungguh itu sangat menjemukan!

Akhirnya hari ini saya memulai hari pertama saya menunda pulang dari rumah Harman.
Saya selesai mengajar ( yang sengaja saya perpanjang waktu mengajarnya ) sekitar pukul 18.30 hari ini. Kami solat Maghrib berjamaah. Oh iya, saya membiasakan murid-murid privat saya untuk melakukan solat berjamaah. Setelah solat, kami mendiskusikan berbagai hal. Tentang pelajaran, tentang berbagai kabar di sekolah, hingga tentang komik-komik yang sedang Harman pinjamkan ke saya.

Kebetulan sekali hari ini kami juga makan mie Aceh. Alhamdulillah.

Lho kok ga fokus lagi.
Adzan Isya pun berkumandang, kami melakukan solat berjamaah lagi. Setelah itu saya bersiap untuk pulang. Harman mengantarkan saya sampai depan rumah.

Saat mencapai motor saya untuk beranjak pulang, saya melihat di tampilan fuelmeter motor saya sedang membutuhkan bahan bakar. Saya hitung-hitung bahan bakar itu masih cukup untuk memacu motor sampai pom bensin terdekat.Saya tidak terlalu khawatir.

Dalam perjalanan pulang, memang jalan tidak semerta-merta lengang sesuai apa yang saya rencakan. Namun, kondisi tersebut masih jauh lebih baik daripada di hari-hari sebelumnya. Saya yakin saya bisa mencapai Depok lebih cepat dengan kondisi lalu lintas seperti ini.

Melewati pom bensin tempat saya biasa mengisi premium, saya melihat lagi fuel meter. Saya rasa bahan bakar masih cukup untuk memacu motor. Saya membatalkan untuk mengisi premium di pom bensin tersebut. Saya membuat rencana baru untuk mengisi premium di tiga pom bensin selanjutnya  yang saya tahu. Saya mengulang-ngulang menyebut premium karena memang saya belum bisa move-on dari bahan bakar bersubsidi ini.

Lebih kurang 10 menit saya sampai ke pom bensin tujuan. Saat itu antrian sudah panjang mengular. Saya bergabung pada salah satu antrian premium bersama para pengendara penikmat BBM bersubsidi lainnya. Momen-momen menunggu antrian pengisian premium itu menimbulkan gagasan tentang tulisan ini. Tentang Menunda Pom Bensin.


Sadarkah kita sering menunda mengisi bahan bakar kendaraan kita karena dirasa masih cukup untuk dipacu untuk suatu jarak tertentu ?

Saat itu, kita sudah membuat kalkulasi seberapa jauh pom bensin terdekat yang masih bisa kita capai dengan kendaraan.

Saat itu kita yakin, bahwa bahan bakar yang masih ada dalam kendaraan kita mencukupi untuk sampai ke tujuan yang lebih jauh. Tapi bagaimana jika tidak ?

Bagaimana jika bahan bakar yang masih ada tersebut ternyata tidak mencukupi untuk sampai ke tujuan baru kita ?

Bagaimana jika, dalam suatu kondisi ternyata pom bensin tujuan baru kita itu sudah tutup atau kehabisan bahan bakar untuk dijual ?

Bagaimana pula jika, kita terpaksa harus mengantri sekian lama karena begitu banyak orang yang sedang melakukan hal yang sama, ingin mengisi bahan bakar di pom bensin yang sama ?. Seperti yang saya lihat malam ini. Pom bensin tempat saya mengisi premium sungguh ramai dengan pembeli. Kenapa tidak mereka membeli bahan bakar di pom bensin-pom bensin sebelumnya yang berada di arah jalan yang sama.

Saya mungkin belum cerita, pom bensin lain yang saya lewati di jalan arah saya pulang ini sungguh lengang dari pembeli. Padahal dari segi tempat, pom bensin-pom bensin tersebut cukup rapi dan nyaman. Ada pom bensin yang malah dilengkapi dengan food court. Tampaknya memang banyak orang sedang melakukan “ Menunda Pom Bensin “ seperti yang saya lakukan. Padahal pom bensin ini, yang memang pom bensin terakhir di arah jalan ini, penerangannya aga gelap, dan tidak asri. 

Kenapa banyak orang suka “ Menunda Pom Bensin ? “

Saya berpikir untuk menghubungkan hal ini dengan kebiasaan seseorang dalam menunda sesuatu.

Saat kita akan melakukan suatu pekerjaan, seringkali kita menunda atas dasar berbagai alasan yang mungkin cenderung dibuat-buat. Misalnya ingin kurus, ingin olahraga tiap 3 hari, tapi selalu batal selama ini karena belum punya sepatu lari yang layak.

Bisa juga seperti ini; ingin memulai bisnis, ingin menapaki jalur seorang pengusaha, tapi terus menunda karena banyak kondisi tidak ideal. Umur, kesempatan pendanaan, lokasi, modal, jaringan, tidak pintar, tidak punya teman, dan lain-lain.

Tapi sesungguhnya keinginan untuk memulai semua itu tidak pernah hilang. Dia tersembunyi malu-malu jauh di dalam benak. Sebetulnya ingin kita memulai, tapi selalu menunggu untuk lebih banyak nanti-nanti.

Akhirnya mugkin kita memulai, atas suatu dorongan, yang biasanya karena kepepet, untuk memulai hal yang tersembunyi malu-malu tersebut. Saat itu, syukur-syukur banyak kondisi sudah menjadi ideal buat kita. 

Bagaimana jika tidak ?

Bagaimana jika selama ini banyak kesempatan dan peluang yang berseliweran di depan kita yang penakut ini akhirya diambil orang yang lebih mau ambil resiko ? Saat itu bisa saja peluang kita sudah habis sama sekali. Kita hanya dapat menikmati remah-remah dari kue kesempatan itu.


Bagaimana jika lari pari-lari pagi yang seharusnya kita lakukan lebih dini itu ternyata tidak hanya menurunkan berat badan, namun juga menghindarkan resiko dari berbagai penyakit, menambah stamina dan semangat hidup kita, atau membuat kita menjalani hari-hari dengan lebih berenergi ?

Atau begini saja, bagaimana jika dalam suatu hari saat kita seharusnya lari pagi (yang tidak pernah kita mulai), kita berkesampatan bertemu orang-orang, suatu hal, suatu kesempatan yang bisa saja membawa kita pada suatu hal lain yang begitu besar ?

Saya sejujurnya memikirkan ini di sepanjang antrian BBM bersubsidi di pom bensin tersebut.Karena saya masih memiliki habit “ Menunda Pom Bensin “ tersebut. Kenapa ya seseorang itu sering sekali menunda ? Kenapa tidak kita lakukan saya apa yang bisa kita lakukan sekarang untuk kebaikan-kebaikan di hidup kita ? Selsai sekarang kan lebih baik daripada menumpuk pekerjaan di waktu lain bukan ? belum tentu di waktu lain itu kita sedang siap dan punya kemampuan.

Apakah menunda sudah termasuk jati diri kebanyakan umat manusia ?

Antrian untuk mengisi premium akhirnya sampai pada saya. Seperti biasa, saya membeli BBM bersubsidi tersebut senilai Rp15.000. Saya melanjutkan perjalanan dengan benak penuh perenungan atas apa yang telah saya alami pada hari ini.

Saya akan berusaha (sungguh) keras untuk tidak lagi menunda.